Selengkapnya »
Semoga rahmat dan keridhaan Allah selalu menyertai keseharian kita dan semoga Allah menerima segala amalan kita dan mengampuni segala dosa kita. Apapun profesi yang kita jalani itu hanya muka dunia saja, prosedurnya adalah peluang untuk beramal sholeh.
Ada banyak kisah orang orang sholeh yang kita dengar dikajian-kajian ilmu, dibuku-buku ataupun dibeberapa sumber yang ada di kitab-kitab. Saya ingin mengulang kaji tentang sebuah kisah kegigihan seorang pemuda untuk selalu menjaga makanan yang halal masuk ketubuhnya.
Dikisahkan ada Seorang lelaki yang sholeh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat Sebuah apel jatuh keluar pagar sebuah kebun buah-buahan.
Melihat apel yang merah ranum itu tergeletak di tanah membuat air liur Tsabit terbit, apalagi di hari yang panas dan tengah kehausan. Maka tanpa berfikir panjang dipungut dan dimakannyalah buah apel yang lezat itu, akan tetapi baru setengahnya di makan dia teringat bahwa buah itu bukan miliknya dan dia belum mendapat izin pemiliknya.
Maka ia segera pergi kedalam kebun buah-buahan itu hendak menemui pemiliknya agar meminta dihalalkan buah yang telah dimakannya. Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki.
Maka langsung saja dia berkata, "Aku sudah makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap anda menghalalkannya".
Orang itu menjawab, "Aku bukan pemilik kebun ini. Aku Khadamnya yang ditugaskan menjaga dan mengurus kebunnya".
Dengan nada menyesal Tsabit bin Ibrahim bertanya lagi, "Dimana rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkannya apel yang telah ku makan ini."
Pengurus kebun itu memberitahukan, "Apabila engkau ingin pergi kesana maka engkau harus menempuh perjalanan yang jauh selama sehari semalam".
Tsabit bin Ibrahim bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orang tua itu, "Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa izin pemiliknya. Bukankah Rasulullah s.a.w. sudah memperingatkan kita melalui sabdanya: "Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka"
Tsabit bin Ibrahim pun pergi berjalan menuju rumah pemilik kebun itu, dan setiba di sana dia langsung mengetuk pintu. Assalamualaikum...
Dari dalam rumah, muncullah seorang lelaki setengah baya. Dia tersenyum ramah, dan berkata, “Apakah ada yang bisa saya bantu?” Sambil membalas senyum, Tsabit bertanya, “Betulkah tuan pemilik kebun apel yang ada di pinggiran kota Kufah?” Laki-laki tersebut menjawab, “Benar wahai anak muda. Memangnya ada apa dengan kebun aplelku?” Tsabit berkata lagi, “Wahai tuan, tadi saya sudah terlanjur memakan setengah dari buah apel tuan yang jatuh dari pohonnya. Karena itu, maukah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu?” Lelaki tua di hadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat sebelum kemudian berkata, “Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.” Tsabit pun tercengang dengan jawaban lelaki tersebut. “Syarat apa yang harus saya penuhi?” tanya Tsabit. Lelaki tersebut menjawab, “Syaratnya adalah engkau harus mau menikahi putriku.”
Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu dan dia pun berkata, “Apakah hanya karena aku memakan setengah buah apelmu, sehingga aku harus menikahi putrimu?” Yang ditanya tidak menggubris pertanyaan Tsabit. Ia malah melanjutkan dengan berkata, “Sebelum pernikahan dimulai, engkau harus mengetahui terlebih dahulu kekurangan-kekurangan yang dimiliki putriku. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu, ia juga seorang yang lumpuh!” Mendengar pemaparan pemilik kebun tentang putrinya, Tsabit pun terkejut. Dia termenung sejenak sebelum akhirnya menyetujui syarat tersebut. “Yang penting, setengah buah apel yang dia makan dapat dihalalkan,” tekadnya dalam hati.
Tsabit bin Ibrahim amat terkejut dengan apa yang disampaikan oleh si pemilik kebun. Dia berfikir dalam hatinya, apakah perempuan seperti itu patut dia persunting sebagai isteri gara-gara setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya?
Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, "Selain syarat itu aku tidak akan menghalalkan apa yang telah kau makan !"
Namun Tsabit bin Ibrahim kemudian menjawab dengan mantap,
"Aku akan menerima pinangannya dan perkawinanya. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul 'alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta'ala".
Maka pernikahan pun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah perkawinan selesai, Tsabit dipersilahkan masuk menemui isterinya.
Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berfikir akan tetap mengucapkan salam walaupun isterinya tuli dan bisu, kerana bukankah malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka iapun mengucapkan salam, "Assalamu"alaikum..."
Tak disangka sama sekali wanita yang ada dihadapannya dan kini resmi jadi isterinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu, dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini menjadi isterinya itu menyambut uluran tangannya.
Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini. "Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada dihadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula", Kata Tsabit bin Ibrahim dalam hatinya.
Tsabit bin Ibrahim berfikir, mengapa ayah mertuaya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan yang sebenarnya ?
Setelah Tsabit bin Ibrahim duduk di samping isterinya, dia bertanya, "Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa?"
Wanita itu kemudian berkata, "Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah".
Tsabit bin Ibrahim bertanya lagi, "Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli, mengapa?"
Wanita itu menjawab, "Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah.
"Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan?" Tanya wanita itu kepada Tsabit bin Ibrahim yang kini sah menjadi suaminya.
Tsabit bin Ibrahim mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan isterinya. Selanjutnya wanita itu berkata,
"aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta'ala saja. Aku juga dikatakan lumpuh kerana kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang boleh menimbulkan kegusaran Allah Ta'ala".
Tsabit bin Ibrahim amat bahagia mendapatkan isteri yang ternyata amat soleh dan wanita yang memelihara dirinya.
Dengan bangga ia berkata tentang isterinya, "Ketika kulihat wajahnya... Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap".
Tsabit bin Ibrahim dan isterinya yang salihah dan cantik itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia, Beliau adalah Al Imam Abu Hanifah An Nu'man bin Tsabit. Salah satu ulama besar dari kota kufah atau yang lebih dikenal dengan Imam hanafi.
Semoga menjadi renungan buat kita untuk menjaga diri dari harta yang haram. Agar selalu menjaga kejujuran walapun berat. Setiap kebaikan pasti akan dibalas kebaikan.
Wallahualam..
0 Reviews